Senin, 15 Oktober 2012

Pendidikan anak berkebutuhan khusus

Model Layanan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus dan Landasan Bahwa ABK Perlu Sekolah atau Perlu Mendapat Pendidikan  Model Layanan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik.Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan mengalami kelainan/ penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, dan emosional) dalam proses pertumbuhkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. jenis-jenis anak berkebutuhan khusus : 1. Tunagrahita (Mental retardation) 2. Tunalaras (Emotional or behavioral disorder) 3. Tunarungu Wicara (Communication disorder and deafness) 4. Tunanetra (Partially seing and legally blind) 5. Tunadaksa (physical disability) 6. Tunaganda (Multiple handicapped) 7. Kesulitan Belajar (Learning disabilities) 8. Anak Berbakat (Giftedness and special talents) 9. Anak Autistik 10. Hyperactive (Attention Deficit Disorder with Hyperactive) Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus A. Tunanetra (Partially seing and legally blind) Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision. Karena tunanetra memiliki keterbataan dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran. Prinsip yang harus diperhatikan dalam pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat taktual dan bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata. sedangkan media yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS. Untuk membantu tunanetra beraktivitas di sekolah luar biasa mereka belajar mengenai Orientasi dan Mobilitas. Orientasi dan Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana tunanetra mengetahui tempat dan arah serta bagaimana menggunakan tongkat putih (tongkat khusus tunanetra yang terbuat dari alumunium) Strategi pembelajaran bagi anak tunanetra 1. Berdasarkan pengolahan pesan terdapat dua strategi yaitu strategi pembelajaran deduktif dan induktf. 2. Berdasarkan pihak pengolah pesan yaitu strategi pembelajaran ekspositorik dan heuristic. 3. Berdasarkan pengaturan guru yaitu strategi pembelajaran dengan seorang guru dan beregu. 4. Berdasarkan jumlah siswa yaitu strategi klasikal, kelompok kecil dan individual. 5. Beradsarkan interaksi guru dan siswa yaitu strategi tatap muka, dan melalui media. Selain strategi yang telah disebutkan di atas, ada strategi lain yang dapat diterapkan yaitu strategi individualisasi, kooperatif dan modifikasi perilaku. B. Tunarungu Wicara (Communication disorder and deafness) Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Strategi yang biasa digunakan untuk anak tunarungu antara lain: strategi deduktif, induktif, heuristic, ekspositorik, klasikal, kelompok, individual, kooperatif dan modifikasi perilaku. C. Tunagrahita (Mental retardation) Tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi prilaku yang muncul dalam masa perkembangan. Pembelajaran bagi individu tunagrahita lebih di titik beratkan pada kemampuan bina diri dan sosialisasi. Strategi pembelajaran anak tunagrahita ringan yang belajar di sekolah umum akan berbeda dengan strategi anak tunagrahita yang belajar di sekolah luar biasa. Strategi yang dapat digunakan dalam mengajar anak tunagrahita antara lain; a) Strategi pembelajaran yang diindividualisasikan b) Strategi kooperatif c) Strategi modifikasi tingkah laku D. Tunadaksa (physical disability) Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik, berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik. Strategi yang bias diterapkan bagi anak tunadaksa yaitu melalui pengorganisasian tempat pendidikan, sebagai berikut: A. Pendidikan integrasi (terpadu) B. Pendidikan segresi (terpisah) C. Penataan lingkungan belajar E. Tunalaras (Emotional or behavioral disorder) Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. individu tunalaras biasanya menunjukan prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar. Strategi pembelajaran bagi anak tunalaras Untuk memberikan layanan kepada anak tunalaras, Kauffman (1985) mengemukakan model-model pendekatan sebagai berikut; 1. Model biogenetic 2. Model behavioral/tingkah laku 3. Model psikodinamika 4. Model ekologis F. Kesulitan belajar (Learning disabilities) Adalah individu yang memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara dan menulis yang dapat memengaruhi kemampuan berfikir, membaca, berhitung, berbicara yang disebabkan karena gangguan persepsi, brain injury, disfungsi minimal otak, dislexia, dan afasia perkembangan. individu kesulitan belajar memiliki IQ rata-rata atau diatas rata-rata, mengalami gangguan motorik persepsi-motorik, gangguan koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan ruang dan keterlambatan perkembangan konsep. Strategi pembelajaran bagi anak dengan kesulitan belajar 1. Anak berkesulitan belajar membaca yaitu melalui program delivery dan remedial teaching 2. Anak berkesulitan belajar menulis yaitu melalui remedial sesuai dengan tingkat kesalahan. 3. Anak berkesulitan belajar berhitung yaitu melalui program remidi yang sistematis sesuai dengan urutan dari tingkat konkret, semi konkret dan tingkat abstrak G. Anak Berbakat Strategi pembelajaran bagi anak berbakat Strategi pembelajaran yang sesuai denagan kebutuhan anak berbakat akan mendorong anak tersebut untuk berprestasi. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam meneentukan strategi pembelajaran adalah : 1. Pembelajaran harus diwarnai dengan kecepatan dan tingkat kompleksitas. 2. Tidak hanya mengembangkan kecerdasan intelektual semata tetapi juga mengembangkan kecerdasan emosional. 3. Berorientasi pada modifikasi proses, content dan produk. Model-model layanan yang bias diberikan pada anak berbakat yaitu model layanan perkembangan kognitif-afektif, nilai, moral, kreativitas dan bidang khusus. Penyelenggaraan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Menurut Hallahandan kauffman (1991) bentuk penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ada berbagai pilihan yaitu: 1. Reguler Class Only (kelas biasa dengan guru biasa) 2. Reguler Class With Consultations (kelas biasa dengan konsultan guru PLB) 3. Itinerant Teacher (kelas biasa dengan guru kunjung) 4. Resource Teacher ( Guru sumber, yaitu kelas biasa dengan guru biasa, namun dalam beberapa kesempatan anakberada did ruang sumber dengan guru sumber) 5. Pusat Diagnnostik-Prescription 6. Hospital or Homebound instruction ( pendidikan di rumah atau di rumah sakit, yakni kondisi anak yang belum memungkinkan masuk ke sekolah biasa) 7. Self-contained Class (kelas khusus di sekolah biasa bersama guru PLB) 8. Special Day School (sekolah luar biasa tanpa asrama) 9. Residential School (sekolah luar biasa berasrama) Bentuk Layanan Pendidikan Segregasi Sistem layanan pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui sistem segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. Dengan kata lain anak berkebutuhan kusus diberikan layanan pendidikan pada pada lembaga pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus, seperti Sekolah Luar Biasa atau Sekolah Dasar Luar Bias, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menengah Atas Luar Biasa. Sistem pendidikan segregasi merupakan sistem pendidikan yang paling tua. Pada awal pelaksanaan, sistem ini diselenggarakan karena adanya kekhawatiran atau keragaman terhadap kemampuan anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan anak normal. Selain itu, adanya kelainan fungsi tertentu pada anak berkebutuhan khusus memerlukan layanan pendidikan dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Misalnya, untuk anak tuna netra, mereka memerlukan layanan khusus berupa braille, orientasi mobilitas. Anak tuna rungu memerlukan komunikasi total, bina persepsi bunyi: anak tuna daksa memerlukan layanan mobilisasi dan aksesilbilitas, dan layanan terapi untuk mendukung fungsi fisiknya. Ada empat bentuk pelayanan pendidikan dengan sistem segregasi yaitu: a) Sekolah Luar Biasa (SLB) Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. Bentuk SLB merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan sekolah mulai dari tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu kepala sekolah. Pada awalnya penyelenggaraan sekolah dalam bentuk unit ini berkembang sesuai dengan kelainan yang ada (satu kelainan saja) sehingga ada SLB untuk tuna netra (SLB-A), SLB untuk tuna rungu (SLB-B), SLB untuk tuna grahita (SLB-C), SLB untuk tuna daksa (SLB-D), dan SLB untuk tuna laras (SLB-E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi. Selain ada SLB yang hanya mendidik satu kelainan saja, ada pula yang mendidik lebih dari satu kelainan, sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB untuk Anak tuna rungu dan tuna grahita. SLB-ABCD, yaitu SLB untuk anak tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, dan tuna daksa. Hal ini terjadi karena jjumlah anak yang ada di unit tersebut sedikit dan fasilitas sekolah terbatas. b) Sekolah Luar Biasa Berasrama Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didik SLB bersrama tinggal di asrama. Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah, sehingga di SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannya pun juga sama dengan bentuk SLB di atas, sehingga ada SLB-A untuk tuna netra, SLB untuk tuna rungu (SLB-B), SLB untuk tuna grahita (SLB-C), SLB untuk tuna daksa (SLB-D), dan SLB untuk tuna laras (SLB-E), serta SLB AB untuk anak tuna netra dan tuna rungu. Pada SLB berasrama terdapat kesinambungan program pembelajaran yang ada di sekolah dengan di asrama, sehingga asrama merupakan tempat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu, SLB berasrama merupakan pilihan sekolah yang sesuai bagi peserta didik yang berasal dari luar daerah, karena mereka terbatas fasilitas antar jemput. c) Kelas Jauh / Kelas Kunjung Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk memeeberi layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Penyelenggaraan kelas jauh /kelas kunjung merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar. Anak berkebutuhan khusus tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka masih sangat terbatas di kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan adanya kelas jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya. Tenaga guru yang bertugas di kelas tersebut berasal dari guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka berfungsi sebagai guru kunjung (itenerant teacher). Kegiatan admistrasinya dilaksanakan di SLB terdekat tersebut. d) Sekolah Dasar Luar Biasa Dalam rangka menuntaskan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus, pemerintah mulai Pelita II menyelenggarakan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Di SDLB merupakan unit sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat anak tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, dan tuna daksa. Tenaga kependidikan di SDLB terdiri dari kepala sekolah, guru untuk tuna netra, guru untuk tuna rungu, guru untuk tuna grahita, guru untuk tuna daksa, guru agama, dan guru olah raga. Selain tenga kependidikan, di SDLB dilengkapi dengan tenaga ahli.yang berkaitan dengan kelainan mereka, antara lain dokter umum, dokter spesialis, fisioterapis, psikolog, speech therapish, audiolog. Selian itu ada tenaga administrasi dan penjaga sekolah. Kurikulum yang digunakan di SDLB adalah kurikululum yang digunakan di SLB untuk tingkat dasar yang disesuaikan dengan kekhususannya. Kegiatan belajat dilakukan secara individual, kelompok dan klasikal sesuai dengan ketunaan masing-masing.pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendekatan individualisasi. Selain kegiatan pembelajaran, dalam rangka rehabilitasi di SDLB juga diselenggarakan pelayanan khusus sesuai dengan ketunaan anak. Anak tuna netra memperoleh latihan menulis dan membaca braille dan orientasi moobilitas; anak tuna rungu memperoleh latihan membaca ujaran, komunikasi total bina persepsi bunyi dan irama; tuna grahita memperoleh layanan mengurus diri sendiri; anak tuna daksa memperoleh layanan fisioterapi dan latihan koordinasi motorik. Lama pendidikan di SDLB sama dengan lama pendidikan di SLB konvensional uuntuk tingkat dasar, yaitu anak tuna netra, tuna grahita, dan tuna daksa selama 6 tahun, dan anak tuna rungu 8 tahun. Sejalan dengan perbaikan istem perundangan di RI yaitu UU RI no.2 tahun 1989 dan PPNo.72 Tahun 1991, dalam pasal 4 PP No.72 Tahun 1991 satuan pendidikan luar biasa terdiri dari: a) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan minimal 6 tahun. b) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3 tahun. c) Seklah Menengah Luar Biasa (SMALB) minimal 3 tahun. Selain itu, pasal 6 PP No.72 Tahun 1991 juga dimungkinkan penyelenggaraaan Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB) dengan lama pendidikan satu sampai tiga tahun. Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu / Integrasi Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak normal belajar dalam satu atap. Sistem pendidikan integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu yakni sistem pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagian, keterpaduan dalam rangka sosialisasi. Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10% dari jumlah siswa keseluruhan. Selain itu dalam satu kelas hanya satu jenis kelainan. Hal ini untuk menjaga beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus melyani berbagai macam kelainan. Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkenutuhan khusus, di sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu GPK juga berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus tau guru kelas pada kelas khusus. Ada 3 bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (1986), ketiga bentuk tersebut adalah: 1) Bentuk Kelas Biasa Dalam bentuk keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh karena itu, sangat diharapkan adanya pelayanan dan bantuan guru kelas atau guru bidang studi semaksimal mungkin dengan memeperhatikan petunjuk-petunjuk khusus dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di kelas biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut dengan keterpaduan penuh. Dalam keterpaduan ini, guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orang tua anak berkebutuhan khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat kurikulum, maupun permasalahan dalam mengajar anakcberkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing khusus. Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda dengan yang digunakan dalam seolah umum. Tetapi, untuk beberapa mata pelajaran yang disesuaikan dengan ketunaan anak. Misalnya, untuk anak tuna netra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca, perlu disesuaikan dengan kondisi anak. Untuk anak tuna rungu mata pelajaran kesenian, bhasa asing/bahasa Indonesia ( lisan) perlu disesuaikan dengan kemampuan wicara anak. 2) Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus, belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak noormal. Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK) dengan menggunakan pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai. Untuk keperluan teersebut di ruang bimbingan khusus dilengkai dengan peralatan khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tuna netra, di ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan sebagian. 3) Bentuk Kelas Khusus Dalam keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan tepadu. Keterpaduan ini disebut juga dengan keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi. Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan adalah pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, yang artinya anak berkebutuhan khusus yang dipadukan untuk kegiatan yang bersifat non akademik, seperti olah raga, ketrampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam istirahatatau acara lain yang diadakan oleh sekolah. Pendidikan Inklusif Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab IV pasal 5 ayat 1 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Warganegara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan. Selama ini, pendidikan bagi anak yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa atau anak berkebutuhan khusus (ALB) disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak berkebutuhan khusus dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkebutuhan khusus, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan tunaganda. Sementara itu, pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang juga menampung anak berkebutuhan khusus, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang keberatan menerima anak berkebutuhan khusus. Di samping itu keberadaan sekolah khusus lokasinya sebagian besar berada di Ibu Kota Kabupaten, padahal anak-anak berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa). Akibatnya, sebagian anak-anak berkebutuhan khusus, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan di atas apabila dibiarkan akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar. Akibat lebih lanjut, mutu sumber daya manusia (SDM) akan semakin tertinggal. CIRI-CIRI PENDIDIKAN INKLUSIF Menurut Prof Dr. Mulyono Abdur Rohman, ciri-ciri pendidikan inklusif adalah sebagai berikut: a) Siswa yang berusia sama duduk dalam kelas yg sama b) Siswa saling bekerja sama dgn sesamanya c) Siswa merasa kelas sebagai milik bersama d) Siswa memiliki pengalaman berhasil e) Siswa belajar mengembangkan sikap toleransi f) Siswa belajar mengembangkan sikap empati g) Guru menerima perbedaan siswa h) Guru mengembangkan dialog dgn siswa i) Guru mendorong terjadinya interaksi promotif antar siswa j) Guru menjadikan sekolah menarik bagi siswa k) Guru membuat siswa aktif Guru mempertimbangkan perbedaan antar siswa dlm kelasnya l) Guru menyiapkan tugas2 yg berbeda untuk siswa2 nya m) Guru fleksibel dan kreatif  Landasan Bahwa ABK Perlu Sekolah atau Perlu Mendapat Pendidikan Layanan pendidikan bagi ABK dikenal dengan Pendidikan Luar Biasa atau kini disebut juga Pendidikan Khusus (special education) atau ortopedogik. Berasal dari Bahasa Yunani, ortos yang berarti lurus, baik, normal, paedos yang berarti anak, dan agogos artinya pendidikan atau bimbingan. Jadi, pendidikan luar biasa berarti pendidikan yang bersifat meluruskan, memperbaiki, dan menormalkan.  Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab IV pasal 5 ayat 1 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Warganegara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.  Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Undang-Undang No.20 Tahun 2003) pasal 32 disebutkan bahwa “Pendidikan khusus (pendidikan luar biasa) merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.” Pemerintah telah menjamin pendidikan bagi ABK dalam undang-undang tersebut agar mendapatkan pendidikan layaknya anak normal lain. Undang-undang Ini merupakan landasan yuridis yang memberikan kesamaan hak dalam memperoleh layanan pendidikan yang layak bagi semua ABK. Tidak akan ada lagi perbedaan dalam hal pendidikan untuk anak luar biasa. Ada tiga alasan mengapa ABK memerlukan layanan pendidikan khusus, yaitu 1. Individual differences, manusia diciptakan Tuhan berbeda-beda. memiliki kapasitas intelektual, sosial, fisik, suku, agama yang berbeda, sehingga memerlukan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya. 2. Potensi siswa akan berkembang optimal dengan adanya layanan pendidikan khusus 3. Siswa ABK akan lebih terbantu dalam melakukan adaptasi sosial. Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menyelenggarakan konferensi dunia tentang Pendidikan Untuk Semua/PUS (Education for All/EFA) di Jomtien, Thailand, pada 1990. Konferensi tersebut menghasilkan dua tujuan utama sebagai berikut: (1) membawa semua anak masuk sekolah, dan (2) memberikan semua anak pendidikan yang sesuai. Inti dari konferensi tersebut adalah untuk menjamin hak semua orang tanpa memandang perbedaan-perbedaan dari setiap individu yang ada. Pada tahun 1994 ditetapkan bahwa pendidikan di seluruh dunia dilaksanakan secara inklusif. Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang mana sekolah umum dapat melayani semua anak, terutama mereka yang mempunyai kebutuhan pendidikan khusus. Dinyatakan pula dalam kesepakatan tersebut bahwa pendidikan adalah hak untuk semua (education for all), tidak peduli apakah orang itu cacat atau normal, kaya atau miskin, dan juga tidak membedakan warna kulit, ras, suku, dan agama. Dengan demikian, jelas bahwa penidikan diberikan tidak hanya untuk anak normal, melainkan anak berkebutuhan khusus pun sangat perlu mendapatkan pendidikan yang layak dan tidak dibedakan dengan anak normal lainnya. Menjadi harapan kita bersama semoga pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, apapun modelnya, baik segregratif atau inklusif dapat lebih baik di masa mendatang sehingga ABK dapat mengembangkan kemampuannya hingga mencapai taraf yang optimal dan mampu menghasilkan karya-karya yang luar biasa di tengah keterbatasan yang mereka miliki.

0 komentar:

Posting Komentar